Thursday, January 14, 2016

Mekanisme Sistem Imun terhadap Virus

MEKANISME SISTEM IMUN TERHADAP VIRUS

Definisi Virus

Virus ( bahasa latin yang artinya toxin atau racun) adalah suatu partikel sub-mikroskopik (ukurannya berkisar antara 15-600 nm) yang dapat menginfeksi sel dari suatu organisme biologis. Mengandung inti dari DNA / RNA.

Beberapa kelompok virus :
I: Double-stranded DNA (e.g. Adenoviruses, Herpesviruses, Poxviruses)
II: Single-stranded (+)sense DNA (e.g. Parvoviruses)
III: Double-stranded RNA (e.g. Reoviruses)
IV: Single-stranded (+)sense RNA (e.g. Picornaviruses, Togaviruses)
V: Single-stranded (-)sense RNA (e.g. Orthomyxoviruses, Rhabdoviruses)
VI: Single-stranded (+)sense RNA with DNA intermediate in life-cycle   (e.g.Retroviruses)
VII: Double-stranded DNA with RNA intermediate (e.g. Hepadnaviruses)
Virus dapat berepliksi sendiri jika menginfeksi host cell(bereplikasi di DALAM tubuh inang menggunakan sistem enzimatik inang, oleh karena ini dia tidak dapat bereproduksi sendiri.
Virus memiliki material genetic,yang berupa protective protein coat yang disebut kapsid. Virus Dapat menginfeksi berbagai varietas organisme, baik eukariot (hewan, tumbuhan, protista, dan fungi) maupun prokariot (bacteria dan archae).Virus yang menginfeksi bakteri dikenal bakteriophage (phage).
Virus dapat menyebabkan penyakit yang seris bagi manusia seperti AIDS, HIV, rsbies dll. Terapi untuk menangani virus (yang memiliki viral deasis) viral diseases seperti antibiotic tidak memberikan efek terapi terhadap virus dan penggantinya adalah antiviral.
Struktur
virus yang komplit memiliki virion, dimana asam nukleatnya dikelilingi olek protective coat yang disebut kapsid (protein). Capsid terdiri dari protein yang di kode oleh viral genome.
Siklus Hidup Virus
Terdiri dari 5 tahap yaitu :
1. Attachment
Attachment adalah ikatan khas diantara viral capsid proteins and specific receptors pada permukaan sel inang. Virus akan menyerang sel inang yang spesifik, contohnya human immunodeficiency virus (HIV) hanya menginfeksi manusia pada sel T. karena membran protein virus(gp120) dapat berinteraksi dengan CD4 and reseptor pada permukaan sel T.
2. Penetration
Viruse masuk ke sel inang menembus   reseptor secara endocytosis atau melalui mekanisme lain.
3. Uncoating
Uncoating adalah proses terdegradasinya viral kapsid oleh enzim viral  atau host enzymes yang dihasilkan oleh viral genomic nucleic acid.
4. Replication
Replikasi virus :
Dapat dilakukan dengan litik atau lisogenik.
Sel T

HIV Virus

5.Release
Virus dilepaskan dari sel inang melalui lisis. Enveloped viruses (e.g., HIV) dilepaskan dari sel inangnya melalui “budding”. Disamping itu,virus mendapatkan phospholipid envelope yang berisi kumpulan viral glycoproteins.
Mekanisme Sistem Imun Khusus Untuk Virus
 Host Immune Response
Bagian yang paling pertama menghadapi virus adalah sistem imun alami. Bagian  ini terdiri dari berbagai sel dan mekanisme lain untuk melindungi sel inang dari infeksi secara non spesifik. Ini berarti sistem imun alami mengenal dan merespon patogen secara pintas, lain halnya dengan sistem imun dapatan, respon tersebut tidak bertahan lama dalam melindungi sistem imun sel inang.
Ketika sistem imun dapatan dari suatu vertebrata dimasuki virus, sel inang akan memproduksi antibodi spesifik yang akan mengikat virus dan akan mempertahankan keadaan normalnya. Sistem ini disebut imunitas humoral. Dua tipe antibodi yang penting adalah IgM(sangat efektif untuk menetralisir virus tetapi hanya diproduksi oleh sel sistem imun dalam beberapa minggu. Anti bodi yang lainnya adalah IgG yang diproduksi dalam waktu tak terbatas. Kehadiran IgM dalam darah pada sel inang digunakan untuk tes infeksi akut dimana IgG mengindikasikan infeksi yang pernah terjadi(memori). Dua tipe antibodi ini diukur ketika melakukan tes imun.
Pertahanan kedua dari vertebrata dalam melawan virus disebut cell-mediated immunity meliputi sel imun yang dikenal dengan sel T. Sel tubuh selalu menyajikan fragmen-fragmen kecil proteinnya ke permukaan sel. Dan jika sel T mengenali terdapatnya fragmen viral yang asing, maka sel inang akan merusak dengan sel T killer dan virus specific T-cells proliferate. Makrofage merupakan antigen presentation utama.
Perlakuan diatas tidak berlaku untuk semua infeksi virus, contohnya HIV menghindari sistem imun dengan selalu mengubah asam amino dari protein pada permukaan virion. Virus persisten juga selalu menghindari kontrol imun dengan pengasingan, blokade antigen presentation, resistensi sitokin, menghindari aktivitas NK sel, menghindari sel dari apoptosis dan antigen shift.
Produksi interferon juga merupakan mekanisme yang penting dalam pertahanan sel inang.
Cara Virus Menghindari Sistem Imun
Viruses and disease
Virus memiliki banyak mekanisme yang berbeda yang dapat mengakibatkan penyakit pada organisme yang sangat tergantung pada sel lisis , Pecahnya sel yang akan menyebabkan kematian sel. Pada organisme multiselular, jika banyak organisme yang mati seluruh organisme akan merasakan efeknya. Walaupun banyak virus merusak homeostasis( menyebabkan penyakit) mereka juga menguntung bagi organisme. Sebagai contoh kemampuan herpes simplex virus, yang menyebabkan coldsores yang membekas pada keadaan dorman dalam tubuh keadaan tersebuk disebut keadaan laten. Hal tersebut juga berlaku untuk Epstein-Barr virus yang menyenankan demam glandular, Varicella zoster virus, yang menyebabkan chicken pox.
Epidemics


The Ebola virus





Contoh Penyakit Yang Disebabkan Oleh Virus
INFEKSI VIRUS PADA S.S.P
       
Virus  adalah parasit intraseluler yang  hanya  membawa satu jenis asam nukleik. Diklasifikasikan menurut jenis asam  nukleiknya  dan disubdivisi berdasar  ukuran  dan bentuk  selubung proteinnya. Ada 10 kelompok virus  RNA dan  5  kelompok virus DNA. Semua virus  RNA  mengalami replikasi  didalam sitoplasma sel, sedangkan virus  DNA kecuali  poxvirus  dinukleus sel. Tidak  setiap  kontak sel-virus  berakhir  dengan infeksi.  Sel  bersangkutan memiliki  sisi  reseptor  yang  memadai  pada  membrana sitoplasmiknya  yang sebanding dengan  molekul  pelekat polipeptida pada permukaan viral. Keterancaman  spesies atau jenis sel tertentu terhadap virus tergantung  sisi reseptor ini.
Virus  biasanya  memasuki badan  melalui  membrane mukosa   saluran  respiratori,   gastrointestinal   dan urinari.  Epidermis adalah sawar yang efektif  terhadap masuknya  virus,  dan  rusaknya  kulit  seperti  akibat gigitan  nyamuk  atau suntikan  hipodermik,  diperlukan untuk penyebaran melalui sawar ini. Sementara  beberapa virus  dihambat oleh permukaan, lainnya mampu  menyebar luas  melalui sistema limfatik dan  sirkulatori.  Virus masuk  SSP melalui saraf perifer dan via aliran  darah. Jalur  saraf perifer sangat penting dalam  migrasi  dan disseminasi virus rabies, herpes simplex dan  varicella oster. Namun infeksi kebanyakan virus pada SSP terjadi akibat viremia. Pada viremia yang hebat, virus mencapai parenkhima  otak walau sawar darah otak  dibentuk  oleh sel  endotel. Virus bisa masuk melalui sel endotel  dan mungkin  menyerang  dan menginfeksinya.  Bila  partikel telah masuk SSP, mereka harus mendapatkan sel yang bisa dipengaruhi  hingga bisa terjadi infeksi.  Tidak  semua jenis  sel  SSP terancam oleh  virus  bersangkutan  dan progresi  penyakit  akan terhenti  kecuali  bila  virus menemukan reseptor sel sesuai.
Terbentuknya kelainan neurologis klinis tergantung pengaruh  virus  pada  sel  yang  dimasukinya.   Herpes simplex   menyebabkan  perubahan  metabolisme   protein seluler yang menyebabkan sel segera mati. Virus lainnya mungkin  berakibat sedikit perubahan  pada  metabolisme seluler  esensial,  akan tetapi  menyebabkan  perubahan metabolisme  fungsional,  seperti  produksi  enzim  dan transmiter  neural, menyebabkan  kelainan utama  fungsi faal  saraf khas. Tapi virus lainnya  mungkin  bertahan untuk  masa yang lama di SSP sebelum menyebabkan  bukti adanya  kelainan.  Masa laten yang panjang  ini  paling umum tampak pada virus DNA dan berkaitan dengan infeksi kronik   seperti  panensefalitis  sklerosing   subakuta akibat  virus campak dan  leukoensefalopati  multifokal progresif yang disebabkan papovavirus.
Variasi  luas  gejala pada kelainan  viral  adalah akibat perbedaan keterancaman populasi sel SSP terhadap berbagai virus. Keberagaman yang luas dari spesialisasi dan  kompleksitas membrana sel SSP mungkin  menjelaskan keterancaman  yang  khas kelompok sel  saraf  dan  glia tertentu terhadap virus tertentu. Misalnya virus rabies mengenai  saraf  sistema limbik  namun  tidak  terhadap saraf  neokortikal, sedang papovavirus secara  selektif menyerang  oligodendrosit,  dan virus  herpes  memiliki predileksi pada lobus temporal namun dapat dengan  baik menyerang berbagai jenis sel. Kebanyakan infeksi  virus pada SSP disebabkan oleh virus yang umum dijumpai  pada populasi   umumnya   dan  biasanya   berkaitan   dengan perjalanan  yang jinak dan self limited. Antibodi  atas virus  yang  umum  menyebabkan  infeksi  SSP  terbentuk secara  luas. Kenyataan ini menunjukkan  bahwa  infeksi SSP  tidaklah secara sederhana diakibatkan agen  virus, namun  lebih oleh karena rusaknya mekanisme  pertahanan tubuh  normal.  Kemajuan besar  dari  pengobatan  telah mengembangkan  strain  viral  yang  telah  dibunuh  dan dilumpuhkan untuk immunisasi terhadap polio, mumps  dan campak.
Meningitis  viral, infeksi viral paling umum  pada SSP,  tampil  sebagai  meningitis  aseptik.  Meningitis enteroviral   dapat  mulai  mendadak  tanpa   prodroma, perjalanannya  terkadang  menyerupai  PSA  ringan,  dan mungkin  menyebabkannya segera dirujuk  kebedah  saraf. Seperti  meningitis, ensefalitis viral biasanya  ringan dan self limited; namun mungkin tampil dengan penurunan derajat  kesadaran,  kejang, kelemahan  atau  paralisis fokal,  dan jarang-jarang menyebabkan  tanda  serebeler seperti ataksia atau nistagmus. Konsekuensi serius  dan bahkan kematian dapat terjadi karena ensefalitis herpes simplex, ensefalitides ekuina, dan polio.
Kelainan viral dan kelainan berkaitan dengan viral yang  bisa  dijumpai pada praktek  bedah  saraf  adalah ensefalitis herpes simplex, kelainan Jakob-Creutzfeldt, sindroma Reye, dan infeksi HIV.
       
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEX
Herpes  simplex  adalah virus DNA dengan  dua  subjenis yang  secara antigenikal berbeda, dikenal  sebagai  HSV jenis  1 dan HSV jenis 2. HSV jenis 1 menyebar  melalui droplet  respirator dan saliva, diketahui  dengan  baik sebagai  agen  yang tersebar dimana-mana  dan  penyebab cold sore jinak yang rekuren dari mukosa oral.  Sekitar 90 %  dewasa  memiliki antibodi  sirkulatori   terhadap HSV-1  dan  sekitar 25 % mengalami cold  sore  rekuren. Untuk  alasan yang belum jelas, virus ini  virulensinya terhadap  SSP  bertambah  dan  menyebabkan  ensefalitis nekrotising  terlokalisir pada anak dan  dewasa.  HSV-2 menyebar  melalui kontak seksual, adalah penyebab  lesi mukosal  dan dapat menjadi infeksi  sistemik  mematikan pada  neonatus. Ensefalitis HSV-2 diffusa bisa  sebagai begian kelainan ini. Herpes neonatal dikira  ditularkan dari   ibu  saat  pasasi  melalui  jalan   lahir   yang terinfeksi.
Karakteristik penting HSV-1 adalah kemampuan untuk tetap  pada keadaan 'tidur', keadaan asimtomatik  untuk jangka  lama  pada badan sel  neuron  sensori  ganglion trigeminal,  dan secara berkala berulang  sebagai  lesi mukokutan   sekitar  mulut.  Virus   mencapai   ganglia trigeminal  melalui  transport  aksoplasmik   retrograd mencapai  akson  yang mencatu daerah lesi  oral.  Virus yang 'tidur' dapat diaktifkan berbagai stimuli  seperti demam, cedera, sinar ultraviolet, dan trauma pada saraf trigeminal;  membentuk  lesi kulit  yang  baru,  diduga melalui perjalanan sentrifugal partikel virus  menuruni akson  sensori. Tidak ada partikel virus  atau  antigen viral  dapat ditemukan pada ganglia  trigeminal  selama keadaan  'tidur'. Virus DNA karenanya  dikatakan  tidak  memproduksi partikel viral dan tanpa merusak integritas seluler metabolisme neuron sensori. Setelah  stimulasi replikasi virus berperan dengan cepat.
Ensefalitis   HSV-1  adalah   penyebab   tersering ensefalitis  fatal  yang sporadik di  USA.  Bila  tidak diobati, angka kematian sekitar 70 %, jauh lebih tinggi dari  kebanyakan  ensefalitides.  Hubungan  ensefalitis HSV-1  dengan  infeksi herpes oral tidak  jelas.  Walau beberapa  pasien  memiliki lesi oral  aktif  pada  saat onset  ensefalitis,  ini  umumnya  tidak  ada  artinya. Riwayat   lesi  herpetik  dijumpai  pada   25 %   kasus ensefalitis, persentasi yang sama dengan populasi umum. Mekanisme  infeksi SSP adalah invasi HSV-1 pada  epitel nasal   dan  migrasi  sepanjang  akson   dari   saluran olfaktori kelobus temporal. Proses ensefalitik, umumnya paling serius pada lobus frontal inferior dan temporal, yaitu invasi dan diikuti lisis sel glial dan neuronal.
Sekitar  90 % pasien memperlihatkan  tanda  neuro-logis   segera  yang  menunjukkan  lokalisasi   fronto-temporal:   halusinasi,  kelainan   tingkah-laku,   dan perubahan  kepribadian.  demam dan nyeri  kepala,  umum terjadi pada tahap awal seperti juga kejang, baik motor fokal,  GM,  atau kompleks  partial.  Gangguan  memori, menunjukkan terkenanya temporal basal bilateral, tampak pada banyak pasien. Defisit motor fokal, biasanya  pada muka  dan lengan, bisa terjadi dan afasia  sering  bila daerah  frontotemporal  dominan  yang  terkena.  Dengan perjalanan  penyakit,  daerah  frontotemporal   menjadi edema  dan sering bertindak sebagai massa  intrakranial dan  menyebabkan peninggikan TIK serta herniasi  unkal. Koma,  pada usia lebih dari 30 tahun,  disertai  dengan terlambatnya  terapi  antiviral  menunjukkan  prognosis buruk.
Pemeriksaan  CSS  hanya  sedikit  membantu   dalam enegakkan  diagnosis ensefalitis HSV. Pleositosis  CSS paling   sering  berupa  campuran  sel  neutrofil   dan mononuklir  dengan  yang terakhir  lebih  dominan.  Sel darah  merah,  sangat jarang pada  ensefalitides  lain, sering  tampil dan merupakan kunci penting  diagnostik. Protein  cukup meninggi dan glukosa normal. Biakan  HSV jarang positif dari CSS dan perlu waktu lama bila  akan dipakai  sebagai  nilai  diagnostik  awal.  Tes   untuk melacak  antigen  HSV  juga  perlu  waktu,  dan   tidak terbukti  cukup sensitif atau spesifik.  Terakhir  ini, tehnik reaksi rantai polimerase untuk mengenal DNA  HSV pada   CSS  terbukti  merupakan  tes  yang  cepat   dan sensitif.  Tes ini menjanjikan sebagai  tes  diagnostik terpilih.
EEG mungkin membantu dalam memastikan proses fokal engan  memperlihatkan pelepasan  paroksismal  periodik atau  kompleks  gelombang lambat pada satu  atau  kedua lobus  temporal. CT scan mungkin memperlihatkan  adanya penurunan   penguatan   pada  hari   ketiga   penyakit. Penurunan  penguatan ini menunjukkan adanya  edema  dan
nekrosis  didaerah ensefalitis. Penggunaan zat  kontras memperlihatkan daerah dengan penguatan abnormal sekitar daerah  berdensitas  rendah. MRI nyata  lebih  sensitif dalam melacak perubahan edema awal dan akan mempercepat ditemukannya perubahan ensefalitik HSV nonhemoragik.
Konfirmasi  lengkap diagnosis  herpes  ensefaliti sering  tergantung  hasil kultur atau  histologis  dari biopsi otak. Sebagian ahli menyetujui terapi  asiklovir bila  kelainan  diatas  dijumpai.  Sayangnya  ketepatan diagnosis  tanpa biopsi hanya sekitar 35-45 %.  Lainnya mengatakan  bahwa diagnosis ensefalitis HSV  dipastikan dengan biopsi, dengan alasan morbiditas yang rendah dan akan  mengenal  kelainan lain  yang  memerlukan  terapi spesifik.  Ahli lainnya sedikit lebih  menyukai  terapi empirik  dengan  asiklovir,  namun  biopsi  otak  jelas berguna  pada  pasien dengan glukosa  CSS  rendah  pada pungsi lumbar pertama. Daerah biopsi ditentukan  dengan CT  scan  atau MRI. Bisa secara  terbuka  atau  stereo-taktik.  Penilaian CSS dengan reaksi rantai  polimerase mungkin  mengurangi perlunya biopsi  dimasa  mendatang. Saat  ini, alasan biopsi tidak hanya  untuk  memastikan ensefalitis  HSV, namun lebih sebagai pencari  kelainan lain yang dapat ditindak.
Tindakan  terpilih untuk ensefalitis HSV  jenis  1 adalah  asiklovir.  Asiklovir  adalah  analog   asiklik guanosin  yang  menghambat sintesis DNA  viral  melalui ikatan  pada polimerase DNA viral  setelah  fosforilasi  pada  sel yang terinfeksi. Terapi harus dimulai  segera setelah  diagnosis,  karena  keterlambatan   dimulainya terapi  secara  drastis mempengaruhi  kematian  pasien. Dosis  30mg/kg per hari diberikan dengan  selang  8 jam untuk paling tidak 10 hari. Kematian keseluruhan tampak berkurang hingga 19-28 % dengan terapi asiklovir, nyata kurang dari terapi vidarabin yang sekitar 50 %.  Faktor  yang  sama pentingnya dalam menindak pasien ini  adalah pengontrolan  peninggian  TIK sehubungan  dengan  edema frontotemporal.  Cairan  IV  harus  diamati  ketat  dan penggunaan  hiperventilasi, steroid, diuretik  osmotik,dan   pengamatan  TIK  semua  penting   dalam   rencana pengobatan.
           
SINDROMA IMMUNODEFISIENSI DIDAPAT (AIDS)
       
Agen penginfeksi pada AIDS, HIV, adalah retrovirus  RNA beruntai satu dari kelompok lentivirus. HIV  mengandung nukleolid  RNA  padat, inti protein,  permukaan  gliko-protein,  dan reverse transcriptase enzyme.  Enzim  ini adalah  polimerase  DNA  yang  mampu  bergabung  dengan kromosom  tubuh.  Sekali  berintegrasi,  ia   digunakan  sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus. Integrasi  membantu  virus untuk lolos  dari  mekanisme pertahanan  tubuh. Lentivirus tidak  mempunyai  potensi teratogenik  seperti retrovirus onkogenik, namun  mampu menimbulkan lisis sel terinfeksi.
Infeksi  HIV  tampaknya  terbatas  pada  sel  yang membawa  reseptor  permukaan CD4.  Populasi  limfosit Thelper  adalah  yang  paling kaya  akan  reseptor  CD4,
menjelaskan  kemampuan  tropisme  dan  lisis  oleh  HIV terhadap sel ini. Monosit, makrofag, dan mikroglia juga mengandung  reseptor permukaan CD4, namun  kepadatannya sangat rendah. Ini mungkin menjelaskan mengapa makrofag sering  mengandung virus, namun jarang  lisis,  membuat mereka efektif sebagai reservoir viral.
31-60 % pasien AIDS memiliki kelainan  neurologis.
 Kelainan  ini mengenai SSP dan sedikit  kesistem  saraf tepi.  Infeksi  yang  mengenai SSP pada  AIDS  ada  dua jenis;  infeksi opportunis sekunder atas  immunosupresi yang  diinduksi  oleh hilangnya  immunitas  sel-T,  dan infeksi  HIV  langsung yang tampil  sebagai  meningitis atau  kompleks dementia AIDS,  manifestasi  ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.
       
INFEKSI OPPORTUNIS PADA SSP PADA AIDS
       
 Infeksi  opportunis atas sistema saraf pada  AIDS  bisa oleh  patogen  viral  atau  nonviral.  Sindroma   viral tersering adalah ensefalitis subakuta disebabkan  sito-megalovirus. Kelainan berikut, terjadi dengan frekuensi makin  jarang  menurut  urutannya,  adalah  ensefalitis herpes simplex, leukoensefalopati multifokal  progresif  (PML), dan mielitis/ensefalitis varicella zoster.
Infeksi   nonviral   tersering   adalah   meningo-ensefalitis  Toxoplasma gondii. Infeksi  fungal  mening dan/atau otak sering juga terjadi. Paling sering, dalam frekuensi makin rendah sesuai urutannya,   Cryptococcus neoformans, Candida albicans, Coccidioides immitis, dan Aspergillus  fumigatus. Infeksi bakterial  intrakranial jarang,  namun meningoensefalitis Mycobacterium  aviam-intracellulare, M. tuberculosis, E. coli, dan Treponema pallidum  pernah dilaporkan. Harus diingat  bahwa  lesi SSP  pada  AIDS  dapat  disebabkan  proses  neoplastik. Limfoma  SSP primer ditemukan sekitar 3 %  dari  pasien AIDS,  dan  limfoma sistemik juga  bisa  menyebar  pada mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke  otak pernah dilaporkan.
             
INFEKSI HIV PRIMER PADA SSP
       
Mekanisme  masuknya  HIV  ke  SSP  belum  jelas,  namun dipostulasikan  sebagi  sekunder terhadap  viremia  dan penetrasi  endotel  atau  via  transport  monosit  yang terinfeksi  melalui  sawar  darah  otak.  Sekitar  30 % pasien  asimtomatis seropositif HIV dengan  biakan  CSS positif  HIV, kemungkinan virus menembus SSP pada  awal perjalanan  infeksi  dan sering  berada  dalam  keadaan asimtomatis.  Saat  ini sudah jelas bahwa  infeksi  HIV primer  berakibat  spektrum dari kelainan  klinis  SSP,meningitis,  dan suatu demensia progresif yang  disebut kompleks demensia AIDS (ADC).
Dua  jenis meningitis dapat terjadi  pada  infeksi HIV;  sindroma  febril akuta yang serupa  dengan  mononukleosis dalam beberapa hari atau minggu dari munculan HIV inisial dan meningitis aseptik disekitar saat sero-onversi.  Gejala  meningitis  berkaitan  dengan  pleo-sitosis CSS mononuklir dan biakan CSS positif HIV  pada 50 % pasien. Kedua keadaan ini self limited.
ADC   adalah  sindroma  neurologis   khas   dengan kelainan  kognisi,  tampilan motor, dan  tingkah  laku.Gejala biasanya berupa kesulitan konsentrasi dan memori menuju  demensia  yang  jelas  dengan  tingkat  aurosal intak.   Gerakan   bergantian  cepat   yang   melambat, hiperrefleksia,   dan   tanda-tanda   lepasan   frontal biasanya  dijumpai pada pemeriksaan,  dengan  imbalans, ataksia,  dan  kelemahan aksial menjadi  prominen  pada tingkat  penyakit yang lebih parah. Tingkat  akhir  ADC mendekati  vegetatif  dengan  pandangan  kosong,  para-paresis,  dan  inkontinens. Gambaran  ADC  adalah  khas demensia  subkortikal  seperti gangguan  kognitif  yang tampak pada kelainan Parkinson dan Huntington. Ada  dan beratnya ADC paralel dengan beratnya kelainan  sistemik pasien AIDS. ADC jarang pada pasien seropositif  sehat, tampil  pada  25-35 %  dengan  tampilan  awal   infeksi opportunistik,  dan  timbul pada hampir  setengah  dari pasien  dengan  AIDS  lanjut.  Perkembangan  ADC   yang paralel  ini, walau HIV tampil awal pada  pada  sistema saraf,  menunjukkan bahwa walau HIV adalah  neurogenik, ia relatif non patogenik terhadap otak disaat  tiadanya immunosupresi.
Temuan patologis, karakteristiknya sudah diketahui dengan  baik. Tanda khas ensefalitis HIV  adalah  nodul mikroglia  dan  sel raksasa multinuklir. Sel  SSP  yang dipastikan memperlihatkan antigen HIV 1 hanya makrofag, mikroglia,  dan  sel raksasa  multinuklir.  Demielinasi dengan  tiadanya perubahan inflamatori  (leukoensefalo-pati),  seperti  juga  mielopati  vakuoler,  juga  umum jumpai.  Tiadanya infeksi sitolitik dari  sel  saraf, oligodendrosit, dan astrosit memusatkan perhatian  pada kemungkinan peran mekanisme indirek pada disfungsi otak berhubungan  baik  dengan virus  maupun  dengan  toksin  'cellcoded'.
CT scan dan MRI relatif tidak sensitif pada  suatu perubahan  ensefalitis HIV hingga penyakit  betul-betul memberat. Perubahan leukoensefalopatik bisa ditampilkan pencitra  ini;  MRIjelas lebih sensitif dari  CT  scan. Atrofi otak sering merupakan temuan lanjut.
       
PEMERIKSAAN DAN TERAPI INFEKSI HIV
       
Saat  ini  tindakan pemeriksaan untuk  kegunaan  klinis ditekankan pada pelacakan antibodi HIV pada pasien  dan darah  donor.  Tes skrining ini adalah  'enzyme  linked immunosorbant  assay (ELISA)',  sensitifitasnya  99.7 % dan spesifisitasnya 98.5 %. Tes pengkonfirmasi,  tehnik Western blot dengan spesifisitas lebih besar, dilakukan bila dijumpai ELISA dengan seropositif. Pemastian sero-positif  HIV dibuat bila paling tidak dua antibodi  HIV diisolasi  pada Western blot, yang mana  memperlihatkan satu  antibodi 'indeterminate'. FDA mensyaratkan  darah donor  harus negatif pada ELISA dan Western blot  untuk didonasikan.  Saat  antara infeksi  dan  tanda  pertama dijumpainya   seropositif  antibodi   disebut   'window period'  dan  biasanya  antara  6-8  minggu.  Karenanya risiko  donor darah seronegatif terinfeksi serta  dapat menularkan  ada.  Penelitian  terakhir   memperlihatkan risiko itu sangat kecil; hanya satu biakan positif  HIV dijumpai  pada  61.000  unit  darah  segar  yang  ELISA seronegatif. Beberapa tes yang lebih baru, yang melacak antigen  HIV,  tes penangkapan antigen, dan  yang  lain melacak  asam nukleik HIV, metoda reaksi  rantai  polimerase.  Kegunaan  tes-tes  ini  dalam  skrining  belum jelas.
Terapi  standar untuk AIDS adalah  3'-azido-3'-deoksitimidin  (zidofudin, AZT). AZT bermakna  mengurangi infeksi  opportunistik  serta  mortalitas  pada  pasien dengan  infeksi  HIV,  namun  tidaklah  mengobati.  AZT menyebabkan  mielosupresi  berat  dengan  efek  samping konstitusional, mengakibatkan  terbatasnya dosis.  Agen lain,  seperti 2',3'-dideoksisitidin (ddC)  dan  2',3'-dideoksinosin  (ddI),  dicoba  untuk  mengobati  pasien dengan infeksi HIV. Terapi paling efektif untuk infeksi HIV  mungkin kombinasi AZT dan terapi lain:  ddC,  ddI, interferon a,  serta  asiklovirinisial.  Trial   terapi kombinasi  tengah dilakukan dan memungkinkan  perbaikan manfaat dan penurunan efek samping.
Categories: ,

0 komentar:

Post a Comment