Persoalan :
Apakah suara wanita termasuk aurat? Bolehkah seorang muslimah bernyanyi?Jawaban :
Menurut pemahaman saya, suara wanita bukanlah aurat, selama tidak disuarakan dengan cara yang
melanggar syara’, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah, dan
semisalnya. Maka dari itu, boleh akhwat bernyanyi, dengan syarat tidak disertai
perbuatan
haram dan maksiat, seperti ikhtilath (campur baur pria wanita), membuka aurat, dan sebagainya.
Dalil bahwa suara
wanita bukan aurat, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil dari Al-Qur`an
terdapat dalam dalil-dalil umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan
berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan
aktivitas-aktivitas itu. wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual
beli (QS. Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah:
282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6),
memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn)
(QS. Al-Baqarah: 283), menyampaikan ceramah (QS. An-Nahl: 125; QS.
As-Sajdah: 33), meminta fatwa (QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. Jika
aktivitas-aktivitas ini dibolehkan bagi wanita, artinya suara wanita bukanlah
aurat sebab semua aktivitas itu adalah aktivitas yang berupa
perkataan-perkataan (tasharrufat qauliyah). Jika suara wanita aurat, tentu
syara’ akan mengharamkan wanita melakukannya.
Adapun dalil
As-Sunnah, antara lain bahwa Rasulullah SAW mengizinkan dua wanita budak
bernyanyi di rumahnya :
Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya (Lihat Shahih Bukhari, Hadits No. 949, 952; lihat juga Shahih Muslim, Hadits No. 892 dengan lafazh lain):
"Pada suatu
hari Rasulullah masuk ke tempatku. Ketika itu disampingku ada dua gadis
perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari Bu'ats)
(Bu'ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-Aws yang jaraknya kira-kira dua
hari perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara
kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah.) Kulihat Rasulullah
s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar
masuk dan
ia marah kepadaku. Katanya: "Di tempat / rumah Nabi
ada seruling setan?". Mendengar seruan itu Nabi lalu menghadapkan mukanya
kepada Abu Bakar seraya berkata:
دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ
دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ
"Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar."
Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)."
Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)."
Pernah pula
Rasulullah SAW mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul
rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah (HR. Tirmidzi, dinilainya sahih.
Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119) :
Hadis riwayat Imam
Ahmad dan Tirmidzi dari Buraidah yang berkata:
"Suatu hari
Rasulullah s.a.w. pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah beliau
pulang dari medan perang, datanglah seorang jariah kulit hitam seraya berkata:
"Ya Rasulullah, aku telah bernazar, yaitu kalau tuan dipulangkan Allah dengan
selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan." Mendengar
hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِيْ وَ إِلاَّ فَلاَ
"Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan
lakukan."
Maka jadilah ia menabuh rebana.Ketika tengah menabuh masuklah Abu Bakar. Tapi jariah itu masih terus menabuh rebananya. Tak lama kemudian Utsman juga masuk, dan si penabuh masih asyik dengan rebana. Begitu pula halnya ketika Ali masuk. Namun tatkala Umar masuk, jariah itu cepat-cepat menyembunyikan rebananya di bawah pinggulnya setelah dilemparkan, lalu didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu Rasulullah s.a.w. berkata:
Maka jadilah ia menabuh rebana.Ketika tengah menabuh masuklah Abu Bakar. Tapi jariah itu masih terus menabuh rebananya. Tak lama kemudian Utsman juga masuk, dan si penabuh masih asyik dengan rebana. Begitu pula halnya ketika Ali masuk. Namun tatkala Umar masuk, jariah itu cepat-cepat menyembunyikan rebananya di bawah pinggulnya setelah dilemparkan, lalu didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu Rasulullah s.a.w. berkata:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّيْ
كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ
دَخَلَ عَلِيٌّ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَ هِيَ تَضْرِبُ
فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ
"Sesungguhnya syaitan pun takut kepadamu, hai Umar. Tadi ketika aku duduk di
sini, jariah ini masih memukul rebananya. Begitu pula ketika Abu Bakar, Ali,
Utsman masuk, dia masih memukulnya. Tetapi ketika engkau yang masuk hai Umar,
dia buru-buru melemparkannya." (Tirmidzi menyebutkan bahwa hadis ini shahih tingkatannya. Lihat Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119).
Dalil As-Sunnah ini
menunjukkan suara wanita bukanlah aurat, sebab jika aurat tentu tidak akan
dibiarkan oleh Rasulullah.
Namun
demikian, syara’ mengharamkan wanita bersuara manja, merayu, mendesah, dan
semisalnya, yang dapat menimbulkan hasrat yang tidak-tidak dari kaum lelaki,
misalnya keinginan berbuat zina, berselingkuh, berbuat serong, dan sebagainya.
Firman Allah :
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا
مَعْرُوفًا
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang baik” (Al-Ahzab: 32)
Suara wanita yang
seperti itulah yang diharamkan, bukan suara wanitanya itu sendiri. Jadi, suara
wanita itu bukanlah aurat yang tidak boleh diperdengarkan.
Maka dari itu,
boleh hukumnya wanita bernyanyi, sebab suara wanita bukanlah aurat. Namun
dengan 2 (dua) syarat. Pertama, suara itu dalam batas kewajaran, bukan sengaja
dibuat mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Kedua, perbuatan itu
tidak disertai perbuatan-perbuatan haram dan maksiat, seperti ikhtilath
(campur baur pria wanita), membuka aurat, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Anda bisa mendownload artikel ini dalam bentuk Microsoft Office Word 2007. Semoga ilmu ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Anda bisa mendownload artikel ini dalam bentuk Microsoft Office Word 2007. Semoga ilmu ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
0 komentar:
Post a Comment